Monday, February 28, 2011

last day of FEBRUARY

I woke up this morning grumbled. March. It's almost March.
So many unfinished business and it's almost March.

Bangun dari kasur, punggung pegel karena springbed melengkung. I grumbled.
Masuk ke kamar mandi, airnya dingin. I grumbled.
Buka lemari bajunya habis, banyak yang belum dicuci. I grumbled.
Di jalan lalu lintas padat banget, bikin aku telat sampai kantor. I grumbled.

Sampai di kantor, aku parkir dekat tong sampah. Dan di tong sampah itu, seorang bapak pemulung sedang sibuk mengorek-ngorek sampah, while he chewed something from the trash can. And I was like, "God..."

How stupid and ungrateful I am.

I'm healthy. Surrounded by lovely people. Ain't need to dig up garbage to eat. I earn money and having fun. I sleep in that old bed, but still safe and sound though. Even along the way this morning, my favourite songs keep popped up while the mp3 player set on shuffle mode. Another reason to cherish the day, right?

But I grumbled for everything this morning.

Just a reminder for me, and for everybody who woke up and felt like a shit today. Let's take a look for every little thing we've had. Aren't they a bless for us? Aren't they deserve an ''Alhamdulillah''? Aren't we lucky for being who we are?

Selamat menjelang bulan Maret! :)

Thursday, February 24, 2011

eyeing : SUCKER PUNCH



This looks sick.

Zack Snyder said this is Alice in Wonderland with machine guns. Smexy badass chicks. Gothic asylum. Magical tritone photography. Stopmotion fighting scenes. Burlesque dancing. 50's war array. Real deal weaponry. Aircrafts. Dojo and katana. Gigantic armored samurai with its infamous kabuto. Star Wars' alike droids. Dragons, castles and other mythical creatures. Futuristic skyscrapers.  

All of those mindblowing fantasies in a pack. Sick.

Saturday, February 19, 2011

HOLY cow! HOLLYWOOD's gone?


Dari sekian banyak hal yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, yuk kita ngomongin film.
Alasannya?

Satu : karena adanya surat edaran dari Ditjen Pajak Nomor 3 Tanggal 10 Januari 2011, yang berbuntut reaksi pihak Motion Picture Association of America (MPAA) dengan menghentikan impor filmnya ke Indonesia.
Dua : karena ini weekend. Mungkin di suatu weekend nanti, dimana biasanya para pasangan atau keluarga berquality time ria di bioskop tapi bakal 'kecelik' karena seluruh film Hollywood sudah lenyap dari lobby-card compartments.
Tiga : because Hollywood movies seen on a cinema's widescreen is a pure bliss for me, and for a lot of people as well.

Berita ini cukup bikin aku kaget, meskipun ngga lantas jadi ngga bisa tidur sih ya. Tapi pemikiran "mau nonton apa aku nanti? bisa ketinggalan film-film bagus aku nanti!" itu penuh di kepala. Ketika membaca bahwa memang sudah sepantasnya pajak film impor dinaikkan karena selama ini pajak film impor lebih murah daripada pajak film nasional, This tiny little mind trying to understand. Karena konon, pajak impor cuma dibebani per satu kopi film, yakni Rp 1 juta per kopi. Rata-rata film impor menyetor lebih kurang Rp 15 juta per judul untuk 15 kopi film. Sementara, film nasional harus membayar pajak untuk beberapa hal, mulai dari bahan baku, peralatan produksi, pajak atas artis, karyawan, pajak saat proses produksi, pajak pasca-produksi, dan untuk penggandaan kopi film.

Walau sedih dan cenat cenut kaya abegeband korea wannabe itu, aku berusaha merasionalisasi, sambil terus berdoa semoga pemerintah dan MPAA memperoleh win-win solution sehingga film Hollywood bisa tetep publish disini, dan pemerintah mendapatkan apa yang menjadi haknya. Jika perlu libatkan pendapat para pekerja film dalam diskusi. Karena dalam kasus yang lalu, sepertinya sineas kita menjadi partai oposisi yang sering dilupakan meskipun lebih mengerti film, sementara pemerintah merasa menjadi big daddy who knows everything. Inget kan kasus RUU Perfilman yang dulu? Semoga sih yang ini engga...

Tapi ketika aku baca pendapat Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Syamsul Lussa untuk menyikapi ditariknya film Hollywood biasa saja, karena momen ini justru harus menjadi pemacu bagi insan film di Tanah Air untuk membuat karya yang jauh lebih baik, i was like "EH?" Karena menurutku pendapat itu tidak relevan. Bukan karena aku tidak menghargai pemerintah dan kebijakannya, atau tidak menghargai para filmmaker Indonesia. Bukan. Tapi menurutku membuat karya sinema yang lebih baik bukanlah merupakan sebuah efek kausalitas dari momen ditariknya film Hollywood.

Sederhananya : kalau kita mau bikin film bagus, ya memang sebuah kewajiban. Seharusnya bisa seiring sejalan dengan whatever foreign movies imported to our country. Dan untuk saat ini, film lokal kita memang BELUM bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan film Hollywood. Entah itu dari segi film lokal yang benar-benar bermutu maupun film-film lokal yang.. ehm.. ecek-ecek. Tolonglah jangan membutakan mata dari kenyataan. Kita memang belum bisa. Bahkan kalaupun nanti industri film kita berjaya, film Indonesia adalah film Indonesia. Film Hollywood adalah film Hollywood. Sinema tiap negara punya karakteristiknya masing-masing. Seperti halnya film Bollywood dan sinema Eropa. Beda, ngga bisa saling substitusi.

Long story short, industri film kita sedang pelan-pelan menggeliat, belajar untuk menjadi eksis. Dan proses belajar yang pertama adalah melihat, memperhatikan, lalu meniru. Begitu pula dengan industri film kita. Kita melihat film Hollywood (dan film-film negara lain), kita memperhatikannya. Lalu kita meniru, bukan untuk menjadi plagiat, tapi meniru efektifitas pembuatan, mise en scene dan lain-lain dari industri film yang lebih establish. Lalu mau belajar dari mana jika film-film itu lenyap dari negara kita. Mau dari DVD bajakan? Download via internet? Ya kita sih oke-oke aja (ehem, biasanya juga suka begitu) tapi bukannya bapak-bapak juga ingin memerangi piracy dan rights infringement? Nah lo.

Win win solution, that's all we need right now.

Thursday, February 10, 2011

habit HABITUDE

Hey folks, jumpa lagi di bulan Februari. Hampir di tengah Februari, tapi masih belum ngepost tulisan apapun. Ah, payah memang. Since one from many objectives this blog made is to drag my lazy ass up to write regularly, so it's pretty lame for haven't made even a scratch until now. Tch. Mungkin karena kebiasaanku dimana kalau terlalu banyak yang pengen diceritain, malah jadi ngga cerita.

AH. Lightbulb sparks. What if I tellin you some of my habitude. No? Well I'm still gonna write it eventually.

Susah Menceritakan Sesuatu Dengan Runut
Buktinya adalah postingan yang sedikit padahal waktu luang dan materi ada begitu banyak. Ujung-ujungnya malah ngga nulis sama sekali. Atau jika kasusnya adalah menyampaikan banyak informasi saat siaran, maka aku bakal... bahasa Shamballa-nya... kamisosolen. You know, tongue-twisted. Ibarat kata sebuah tandon besar dengan keran yang begitu kecil. Akhirnya aku ngga tau mana dulu yang mesti disimpan, mana yang mesti keluar. I'm still working on this, verbally and written.

Movie and Music Driven
When I'm heartbroken, I'll dancing around with L'Arc~en~Ciel's Seventh Heaven or Passion Pit's Cuddle Fuddle. When I had a bad day and I have to ride my bike alone, I'll put my MP3 player (in a reasonable volume, I assure you) and singing along the way, loudly. When real world seems crumpled, I'll go to the cinema alone, watching 2 movies in a row. I didn't consume bars of chocolate or pints of ice cream to boosting up my mood (will be explained on the next item)... Give me my music and movies, I will likely as happy as I can be.

Sweet Tooth, Not
Seperti sudah dijelaskan pada banyaaaaak postingan, I'm not so into sweets. Aku lebih suka yang asin-asin, dengan tingkat toleransi terhadap rasa asin yang cukup barbaric. I can stand bitter tea, but please don't snatch Pringles Cheese (heavenly!) away from me. Kalau aku bilang suatu makanan "Asin, enak!" maka teman-temanku akan menerjemahkannya sebagai : extremely salty and unhealthy, run for your life. Salah satu resolusi hidup sehatku tahun ini adalah mengurangi garam dan MSG (million dollar goal, it is) Doakan saya sodara-sodara! PS : selain rasa manis, tingkat toleransiku terhadap rasa pedas juga sangat rendah. Cocolan sambel hanya formalitas bagiku.

Makan Sambil Membaca
Masih berhubungan dengan makan, aku terbiasa makan (kalau makan sendirian ya) sambil baca. Majalah, komik, sambil browsing di HP, apapun itu. Bahkan deep down inside my subconscious, ada pemikiran semakin enak makanannya, maka bacaannya juga harus semakin bagus. Foods complements readings, and vice versa. Yea yea I know, makan sambil membaca itu ngga bagus, kan makan itu harus dinikmati pelan-pelan gitu ya? Tapi gimana dong, kebiasaan dari kecil. At least aku melakukannya hanya ketika makan sendirian. Errrr is it?

Dan, karena ini adalah posting sambil menunggu saatnya berbuka, sepertinya harus disudahi sampai disini dulu. Sebenernya masih banyak kebiasaan-kebiasaanku yang lain, tapi postingan ini ngga bakal bersambung di lain hari. Let some stuffs remain a mistery. Because secret makes a woman, woman, yes? :)

*dan pembaca pun mbatin : yee kaga ada yang nanya!* 


Okay then, Dila over and out. Selamat berbuka puasa sunnah Senin-Kamis! :