Saturday, February 19, 2011

HOLY cow! HOLLYWOOD's gone?


Dari sekian banyak hal yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, yuk kita ngomongin film.
Alasannya?

Satu : karena adanya surat edaran dari Ditjen Pajak Nomor 3 Tanggal 10 Januari 2011, yang berbuntut reaksi pihak Motion Picture Association of America (MPAA) dengan menghentikan impor filmnya ke Indonesia.
Dua : karena ini weekend. Mungkin di suatu weekend nanti, dimana biasanya para pasangan atau keluarga berquality time ria di bioskop tapi bakal 'kecelik' karena seluruh film Hollywood sudah lenyap dari lobby-card compartments.
Tiga : because Hollywood movies seen on a cinema's widescreen is a pure bliss for me, and for a lot of people as well.

Berita ini cukup bikin aku kaget, meskipun ngga lantas jadi ngga bisa tidur sih ya. Tapi pemikiran "mau nonton apa aku nanti? bisa ketinggalan film-film bagus aku nanti!" itu penuh di kepala. Ketika membaca bahwa memang sudah sepantasnya pajak film impor dinaikkan karena selama ini pajak film impor lebih murah daripada pajak film nasional, This tiny little mind trying to understand. Karena konon, pajak impor cuma dibebani per satu kopi film, yakni Rp 1 juta per kopi. Rata-rata film impor menyetor lebih kurang Rp 15 juta per judul untuk 15 kopi film. Sementara, film nasional harus membayar pajak untuk beberapa hal, mulai dari bahan baku, peralatan produksi, pajak atas artis, karyawan, pajak saat proses produksi, pajak pasca-produksi, dan untuk penggandaan kopi film.

Walau sedih dan cenat cenut kaya abegeband korea wannabe itu, aku berusaha merasionalisasi, sambil terus berdoa semoga pemerintah dan MPAA memperoleh win-win solution sehingga film Hollywood bisa tetep publish disini, dan pemerintah mendapatkan apa yang menjadi haknya. Jika perlu libatkan pendapat para pekerja film dalam diskusi. Karena dalam kasus yang lalu, sepertinya sineas kita menjadi partai oposisi yang sering dilupakan meskipun lebih mengerti film, sementara pemerintah merasa menjadi big daddy who knows everything. Inget kan kasus RUU Perfilman yang dulu? Semoga sih yang ini engga...

Tapi ketika aku baca pendapat Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Syamsul Lussa untuk menyikapi ditariknya film Hollywood biasa saja, karena momen ini justru harus menjadi pemacu bagi insan film di Tanah Air untuk membuat karya yang jauh lebih baik, i was like "EH?" Karena menurutku pendapat itu tidak relevan. Bukan karena aku tidak menghargai pemerintah dan kebijakannya, atau tidak menghargai para filmmaker Indonesia. Bukan. Tapi menurutku membuat karya sinema yang lebih baik bukanlah merupakan sebuah efek kausalitas dari momen ditariknya film Hollywood.

Sederhananya : kalau kita mau bikin film bagus, ya memang sebuah kewajiban. Seharusnya bisa seiring sejalan dengan whatever foreign movies imported to our country. Dan untuk saat ini, film lokal kita memang BELUM bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan film Hollywood. Entah itu dari segi film lokal yang benar-benar bermutu maupun film-film lokal yang.. ehm.. ecek-ecek. Tolonglah jangan membutakan mata dari kenyataan. Kita memang belum bisa. Bahkan kalaupun nanti industri film kita berjaya, film Indonesia adalah film Indonesia. Film Hollywood adalah film Hollywood. Sinema tiap negara punya karakteristiknya masing-masing. Seperti halnya film Bollywood dan sinema Eropa. Beda, ngga bisa saling substitusi.

Long story short, industri film kita sedang pelan-pelan menggeliat, belajar untuk menjadi eksis. Dan proses belajar yang pertama adalah melihat, memperhatikan, lalu meniru. Begitu pula dengan industri film kita. Kita melihat film Hollywood (dan film-film negara lain), kita memperhatikannya. Lalu kita meniru, bukan untuk menjadi plagiat, tapi meniru efektifitas pembuatan, mise en scene dan lain-lain dari industri film yang lebih establish. Lalu mau belajar dari mana jika film-film itu lenyap dari negara kita. Mau dari DVD bajakan? Download via internet? Ya kita sih oke-oke aja (ehem, biasanya juga suka begitu) tapi bukannya bapak-bapak juga ingin memerangi piracy dan rights infringement? Nah lo.

Win win solution, that's all we need right now.

0 comments:

Post a Comment