Wednesday, August 31, 2011

going HOME


Ketika pergi ke Jakarta hanya dengan 1 travel bag dan 1 ransel laptop, aku bilang sama orang rumah : “Yang penting nyari tempat dulu, bawa seadanya, 1 bulan lagi aku pulang ngambil sisa barang.” Nyatanya, 5 bulan berlalu dengan sangat cepat tanpa ada kesempatan yang pas buat pulang. Akhirnya momen libur panjang Lebaran ini jadi momen yang sangat ditunggu. Bukan masalah ngambil barangnya, tapi oh my, aku ngga nyangka bisa sekangen ini sama si kota kelahiran dan seisinya.

Then, here comes my first mudik! :D Agak-agak kurang taktis masalah nyari tiketnya, maklum newbie. Untungnya sih masih terkendali, meski pengaturan waktunya jadi agak di luar rencana : pulang terlalu mepet dan balik terlalu awal, kegampar harga tuslah pula. Tapi ya sudahlah, masih untung bisa dapet moda transportasi yang ngga perlu desak-desakan seperti yang di tipi-tipi itu. Tahun-tahun berikutnya harus lebih disiapin lagi.

Long story short, aku sampai di Semarang. Ikut Lebaran yang tanggal 31 Agustus, bukan yang tanggal 30. Masalah perbedaan, itu tak apa. Yang pasti, Lebaran tahun ini aku merasa “naik kelas” dibanding tahun sebelumnya. “Naik kelas” dalam hal manajemen mulut, hati dan perbuatan menghadapi segala macam family affair itu. Meskipun masih ada hal-hal yang di luar kendaliku, but I think I already did the right thing. Aku menikmati lebaran ini, dengan segala drama yang ada di dalamnya.

Pun, aku sempat bertemu beberapa teman yang kurindukan, duduk ngobrol di teras bersama eyang sambil melakukan kegiatan pertukangan, berkeliling penjuru kota dengan si motor kesayangan, tidur sambil memeluk buntelan bulu kuning yang menenangkan, berbaring dalam kamar sambil mendengarkan alunan tadarus di malam takbiran. Momen pulang ini rasanya bikin aku recharged. Hangat.

Ada yang kurang? Ada sih.

Yang dulu ada di setiap kegiatan yang kusebut di atas, secara fisik atau dengan penghantar teknologi. Karena kota ini selalu membuatku rindu padamu. Kamu. Ya, kamu. Tempat pulangku.      





#kemudianhening

Ah, apapun itu, Alhamdulillah atas segala nikmatmu Ya Allah.
Semoga kami masih bisa bertemu Ramadan dan Idul Fitri tahun-tahun berikutnya.

Selamat lebaran dan liburan semuanya!

Sunday, August 28, 2011

continue? YES.


Today I’m turning 27.

Meskipun yang namanya ulang tahun buat aku ngga pernah terlalu jadi perhatian dengan berlebihan, tapi tetep aja dong, yang namanya hidup ada timelinenya. Dan umur adalah salah satu penandanya. Nyari kerjaan, tolok ukurnya umur. Jam biologis wanita, tolok ukurnya umur. Jadi ketika si umur bertambah, tetep aja ngga secuek-cuek itu juga.

So, lupa ulang tahun? Mana mungkin. Apalagi tahun ini, ketika ulang tahunnya mepet ke tanggal mudik. Tapi ulang tahun kali ini emang rasanya kaya sekedipan mata nyampenya. Rasanya baru aja masuk Agustus, tahu-tahu udah akhir bulan. Banyak ini itu yang bikin segalanya serba skip. Tsk tsk. Cadas.  

Oke, uhm, soal ulang tahun. Yang pertama banget mau bilang “Alhamdulillah”. Sampai saat ini, dikasih susah tapi juga dikasih jalan buat nyelesaiin pelan-pelan. Dikasih goyah tapi juga dikasi sentilan-sentilan buat ngingetin. Hidup memang ngga berjalan mulus-mulus banget kaya jalan tol. Tapi, biarpun pake lutut yang babak belur kesandung sana-sini, aku masih bisa ngerasain nikmat. Banyak nikmat.

Yang kedua mau bilang “Bismillahirrahmanirrahim”. Karena selain beberapa unfinished business, ada beberapa item baru yang aku taruh di timeline stage hidup yang ini. Possible? Impossible? Mana tahu kalo belum dicoba?

So let’s do this, the-27-years-old me.     

Monday, August 22, 2011

welcoming ONE-THIRD

Masuk 10 hari terakhir Ramadan tahun ini nih. Aku masih bangun jam segini? Biasa. Selama bulan Ramadan emang selalu begini. Bukannya tidur dulu baru bangun sahur; tapi melek sampai jam 3, sahur sebelum masjid mulai woro-woro, habis itu baru tidur. Rasanya? Sepi sepi aneh gitu deh. 

Aku merindukan siaran sahur, dijemput jam 1 malam, mampir kucingan pak Gik, beli pangsit dan teh pait-enaknya buat sahur, siaran sambil ketawa-ketawa pagi-pagi buta.

Aku merindukan bekerja sambil terkantuk-kantuk di ruang meeting dan tanpa dikomando mendadak anak-anak ngumpul dan jadi goler-goler berjamaah karena gula darah mulai turun.

Aku merindukan berbuka di studio, di penyetan, di tempat makan baru yang iseng dicoba, di rumah, di tempat-tempat yang familiar, bersama wajah-wajah yang familiar.

Aku merindukan tarawih di belakang rumah, mendengar ceramah pak Syahir yang meledak-ledak, mendengar anak-anak yang menyahut "Aaaamiiiiiin.." dengan lantang.

Aku merindukan berbaring di kamar yang gelap di malam hari dan mendengarkan lantunan tadarusan lamat-lamat sampai tertidur.

Aku merindukan bersujud di sajadah sampai tergugu. Menyebut nama-Mu sampai hati tak lagi terasa pilu.

But what I've done? What I've done until now?
Ya Allah. Ya Allah. Ya Allah. Aku merindu.

SKIN-DEEP me

Sekoboy-koboynya, aku tetaplah wanita *apadeh* Jadi biar serampangan, ada beberapa gimmick khas wanita yang tetep jadi concern. Salah satunya masalah muka dan tetek bengek perawatannya.

Kalo ngomongin soal perawatan muka, sebenernya sih malu sama kaca ya. Aku baru pake sabun khusus wajah setelah SMA, dan pake bedak setelah kuliah. Punya make-up baru setelah mulai ngemsi-ngemsi (itu pun setelah beberapa saat lamanya cuma minjem doang). Pokoknya gembel banget deh.

Mungkin karena itulah, akibatnya kulit mukaku jadi cenderung ngga bagus. As far as I can remember, sejak puber, jarang banget mukaku ngga jerawatan. Muncul satu dua, tapi sering, sampai sekarang. Akhirnya mukaku jadi cenderung prone gitu deh, bruntus, dan yang udah sembuh jadi berbekas-bekas.

Proses pencarian skincarenya juga ngga gampang. Karena the teenager me tidak selalu mendapatkan kebutuhan sekundernya dengan mudah, masalah muka ini juga bukan perhatian utama sang pemberi uang saku. Paling nyobain beberapa facial scrub khusus jerawat yang dijual bebas. Pernah juga pas SMA berminggu-minggu ngumpulin uang jajan demi biar bisa ke dokter kulit. Dua-duanya end-up failed. Setelah punya duit sendiri, baru deh mulai nyoba perawatan.

Perawatan yang aku coba adalah Larissa, skin care asal Jogja, yang buka cabang di Semarang. Alasannya? Ngga semahal LBC dan Natasha (yang katanya nagih pun), tapi semuanya keliatan oke : dokternya baik, terapisnya ramah, interiornya luas dan bersih. Meskipun itu pertama kali nyicipin perawatan, tapi rasanya believable aja.

Begitu dateng, konsul dokterlah aku. Hasilnya, aku divonis ngga cukup melindungi muka dari endebla endebla endebla dan harusnya rajin facial yadda yadda yadda. Singkat kata di kunjungan pertama itu diresepkanlah sebuah rangkaian perawatan Tea Tree khusus kulit berjerawat. Agak shock ketika harus menjalani rutinitas pagi (milk-foam-cleanser-krim pagi-lotion jerawat-bedak khusus) dan malam (milk-foam-cleanser-krim malam tunggu 1 jam-foam lagi-lotion jerawat). Sumpah itu perjuangan banget harus ngikutin resepnya si bu dokter cantik. Karena saya pe-ma-las. Belum lagi muka digecek-gecek facial. Beuh. Byuti is pein, indid. Oya, total kerusakan pertama datang kurang dari 300K. Selanjutnya ngga sampe segitu.

Nyatanya si Larissa ini sesuai dengan slogan perawatan naturalnya. Rangkaian perawatannya ngga keras, perubahan pada wajahku ngga drastis, pelan tapi pasti. Ngga juga yang merah-merah ngelupas gitu. Bekas hitam dikit-dikit ilang dan jerawat agak jarang muncul. Kata temen-temen juga agak cerahan (dikit). Jadilah aku pemakai setia perawatan Larissa selama 2 tahunan. Rajin facial (walaupun suka bandel, disuru 1 bulan sekali, aku dateng 2 bulanan) dan melaksanakan perintah ibu dokter (meskipun sering skip step-step, yang berakibat ritual facial yang lebih ekstrim). Yang pasti sih hidupku tenang, tinggal nurut aja sama Larissa. Aku ngga ngerasa centil, justru malah praktis, karena udah satu paket. Cocok. Ngga repot. Ngga mahal. Ihiy.

Ternyata ketenangan jiwaku sampe disitu aja. Ketika pindah ke Jakarta yang ngga ada cabang Larissanya aku jadi bingung lagi. Kalo masalah krim-krim mungkin bisa diimpor yeuh. Tapi facial, ohmaigod, disini mihil semua (yaeyalah). Sekalinya nyobain LBC sini yang harganya nyaris 3x lipat, ngga sebersih dan sepuas di Larissa. Ada sih yang murah, tapi random salon yang… ngga berani deh aku.  

Trus intinya sekarang aku bingung. Stabilitas perawatan muka si gadis malas ini sedang terancam. Bahkan krim dokter udah pada abis dan mulai pake krim bebas lagi. Dan mulai prone lagi ini muka. Huhuhu, Larissa buka di Jakarta kek. Biar hidupku tenang, ngga bingung ngurusi muka. Huhuhu.      

Ada yang punya masukan skin care di Jakarta yang ga mihil, alami, reliable?

Wednesday, August 17, 2011

over midnite VONLENSKA

Cerita ini terjadi sekitar.. umm, 2 tahun yang lalu? Agak lupa. Pokoknya satu dari banyak perjalanan bulak-balik Semarang-Jakarta ngejabanin wawancara dan tes. Seperti biasa aku naik kereta malam Kamandanu (yang harga, kenyamanan dan jamnya pas, sayang sekarang udah ngga ada, huks) dengan mindset yang seperti biasa juga : duduk, not in a chatty mode, pake headset, tidur atau baca buku. 

Ternyata malam itu beda. Di sebelahku duduk seorang mas-mas yang... ganteng gak ya? Kayanya sih pas aja, ngga berlebihan : rambut acak-acakan, sneakers, ransel, jaket klub sepakbola dan senyum yang jenaka. Bermula dari obrolan di gerbong restorasi sambil ngecharge hp, later I know kita seumuran, kita dari kampus yang sama tapi beda fakultas, dia kenal beberapa temanku dan dia ke Jakarta juga buat ngejabanin panggilan kerja. 

Menjelang tengah malam, dia bilang ngantuk. Trus dia pamit tidur dan siap-siap muter MP3 player. Katanya, mau dengerin 1 lagu Sigur Ros, lullaby-nya dia yang never failed bikin dia tidur tenang. Hihihi lucu ya? Waktu itu aku bilang udah kenal Sigur Ros, tapi belum eksplor lebih dalam, cuma tau 1-2 lagu aja. He said, "Ah, too bad, try listening to this one". Dia memberikan sebelah earphonenya padaku. Olsen Olsen pun mengalun.
 

It was over midnite. I can't saw anything outside the windows. Lights in train was dimmed. The stranger beside me drifted to sleep. I was on a certainty, went to the unfamiliar city. But when I heard nothing but rail clanking and Jonsi humming, it was... Calming.

And ever since, I'm officially into Sigur Ros.   

ps :
Ow, tidak ada romantisme yang terjadi antara saya dan si mas, kita berpisah gitu aja di Gambir. Apa boleh buat, soalnya ini bukan drama Korea :D

ps ps :
Ow and for you who dig Sigur Ros too.. Good news! It's been said, INNI, second live film (after the Heima, which we saw part of it above) will be released in November 2011. Wowowow. Can't wait.

Monday, August 8, 2011

the KID who TALK too much

There's this kid. This naive kid.
This kid is talk to much.
Waaay to much.

Speak like knows everything.
Act to depicted as the perfect being.
Or to get some attention?
I dunno. I just don't dig it.

Oh kiddo, grow up, will ya?

Sunday, August 7, 2011

Harry. Voldemort. END*.


Heboh. Ketika akhirnya Harry Potter and The Deathly Hallows part. 2 akhirnya masuk ke Indonesia. Antrian puanjang. Anak-anak kantor nonton bareng (sponsored by kantor pun) di hari pertama rilisnya. Akunya sih ngga ikut nonton, pas kebetulan ada liputan di jam yang sama, dan... Ugh, I don't feel like it watching movie at the 2nd row from the screen. Aku kan rewel. Mending nunggu euforianya lewat dulu, lalu bisa nonton nyaman. Sendirian kalo perlu, biar gampang nyempil dapet seat. Dan itulah yang aku lakuin kemarin, nonton HP 7 Pt.2 sendirian. Kebetulan massa udah teralihkan ke Transformers 3, jadi lebih gampang dapet seatnya.

So, uhm, mulai dari mana ya? Is it good? Is it bad? I'm not sure. It's kinda in-between for me. I dunno apa yang salah. Bukan cuma filmnya sih menurutku. Dari segi bukunya juga. Banyak hal yang aku pertanyakan, salah satunya yang cukup fundamental : hubungan Harry dan Voldemort. If that noseless villain is THAT evil and powerful, he really doesn't seem like one. Chasing Harry for 7 fuckin years? Assaulting Hogwarts then retreat? Oh dear, Prince of Darkness not supposed to do that. Why don't he just killed them all, if he is THAT evil and powerful? Nah, kausalitas ala PG-nya ini lho yang bikin ngga sreg. Ya gimana lagi, emang PG sih. 

So, IMHO, 7 buku 8 film terlalu banyak. Seperti yang men-saga-kan sesuatu yang seharusnya ngga se-saga itu. Uhm, I dunno (too many I dunnos here). Jadinya uhm, agak ga rela kalo ada yang menyejajarkannya dengan LOTR atau Star Wars. 

Tapi sebagai closing, HP 7 Pt. 2 ini cukup intens. This movie's good. The visual effect, the chemistry of the casts, the whole magical world. Sementara dari departemen plot, favoritku adalah the origin of Severus Snape. Entah ya dari awal banget, aku ngerasa nih orang bakal jadi sesuatu. Ya, klise sih, orang yang keliatan jahat ternyata yang paling care and whatnot. Cuma ugh, Alan Rickman nailed it.

Harus aku akui, yang paling kunikmati dari HP adalah feel magical dari keseluruhan settingnya. Those castles, those scenery, those beasts, those spells. Jauh lebih baik dan menarik dari, Narnia misalnya (yang aku give-up nonton 1 filmnya aja, lainnya engga nafsu.) Paling tidak HP masih menarikku sampai sejauh ini, dari awal sampai akhir. Oh dan, Rupert Grint! Semakin lama semakin hot aja tuh bocah. Not too handsomey handsome, but he's just.. fly. Move away Daniel Radcliffe, saya mah drool over mas Rupert ajah :p   

aaah. the fire rite i like to watch.
Apapun itu, Harry Potter franchise is a depiction of a generation. Dan ketika berakhir, ada rasa sedih juga. See, I always want to enroll Hogwarts :D So, bye Harry, Hermione and Ron. It was a wonderful years.   

*) taken from phrase "lo-gue-end" yang hits itu.