.
Saya duduk bersila di atas meja ruang miting, dengan segelas besar air putih. Teman saya, duduk di kursi, di hadapan saya, sesekali mengutak-atik laptopnya. Load pekerjaan kami sedang tidak banyak, karena ini hari Sabtu. Entah bagaimana mulainya, tiba-tiba kita ngobrol banyak hal ngalor ngidul. Awalnya cuma masalah laptop saya yang masih mangkrak di tempat reparasi, file-file (dengan tanda kutip) yang berusaha saya selamatkan, dan sisi historikal dari laptop itu sendiri.
Bagi saya, file yang sedang berusaha saya selamatkan dari laptop itu bukan hal kecil. Meskipun banyak sekali teman yang bilang : "Oh come on, just let it go! It's just a piece of cake! And it's been so long time ago. Why'd you keep bothering yourself?" Hati saya mencelos ketika semua bilang begitu. Apakah yang saya rasakan tidak wajar? Apakah kalau saya bersikeras menyelamatkan file-file lama itu tidak wajar?
Lalu pembicaraan merembet ke resistensi seorang manusia untuk menghadapi masa lalunya : apakah dia akan lari atau mengangkat dagu menghadapinya. Dalam kasus saya, menerima kenyataan kalau file itu akhirnya harus hilang, adalah salah satu bentuk 'menghadapi'. Sementara dengan berusaha menyelamatkannya meskipun nyaris mustahil, justru saya malah 'lari' dari kenyataan bahwa yang saya selamatkan itu hanyalah sekedar 'file'. Tidak lebih dari itu.
*Here we go. Being cryptic again, I really am*
Sebenarnya tidak ada konklusi yang didapat dari pembicaraan kami berdua. Termasuk ketika akhirnya kami mulai berbicara soal saya, yang menurut si teman, always push myself too hard. Contoh kecilnya, kemarin ketika in house training, pada sesi evaluasi mandiri bersiaran, saya bilang, pengetahuan saya dalam banyak hal masih kurang. Dan sang mentor memekik : "What?! Are you sure? Still feeling lack of knowledge? I know that you know lotsa thing anybody else don't know!" Mendengarnya saya berjengit. I am not. Saya tahu diri saya sendiri. Saya hanya tertarik pada hal-hal yang saya suka dan akan rela me-research-nya sehingga, yaaa keliatan berpengetahuan luas. Tapi hanya dalam hal itu. Lainnya tidak. Lalu kata si mentor : "Darl, you don't have to know everything. What you've got is enough!"
Atau ketika saya mencari pekerjaan. Betapa saya selalu menyalahkan diri saya sendiri karena saya tidak kunjung dapat pekerjaan baru. Saya tidak cukup berusaha, kemampuan saya kurang, pengalaman saya cekak, etos kerja saya kurang tinggi. Padahal menurut si teman, perjalanan yang saya lakukan sudah cukup membuatnya geleng kepala. Dan menurutnya mungkin saya tidak bisa melihat dengan seksama apa yang sudah saya miliki dan mengambil peluang dari itu, instead of maksain nyari kerjaan baru. Katanya : "Apa iya kerjaan lain yang kamu kejar-kejar itu itu nantinya bakal kamu jalanin pake hati?"
Baik soal siaran atau soal nyari kerjaan, despite apapun yang dikatakan si mentor atau si teman, saya punya alasan dalam melakukannya. Tapi memang saya jadi mikir : mungkin saya terlalu banyak melihat keatas hingga saya kelelahan sendiri. Saya tidak berdamai dengan kenyataan. Pun ketika saya sudah melakukan banyak kontemplasi di malam-malam insomnia itu. Nyatanya saya terlalu keras kepala untuk melaksanakan apa yang sudah saya sepakati sendiri di dalam hati, for my own sake. My bad.
*tiba-tiba ujan turun deresnya alaihim*
So it is. Demikian percakapan saya dan Mas Nunow, teman saya itu. Sekali lagi tidak ada konklusinya. Hanya jadi mikir lagi, ternyata memang buat saya, segala yang saya rasakan; soal laptop, soal insomnia, soal mencari pekerjaan baru; bukan semata-mata soal sandaran hati tapi juga relegasi diri. Mungkin agak menggelikan dan kurang masuk akal. Tidak apa-apa, karena pada akhirnya yang bisa menolong saya, ya diri saya sendiri.
And definitely the Boss of the Universe almighty.
.
Saya duduk bersila di atas meja ruang miting, dengan segelas besar air putih. Teman saya, duduk di kursi, di hadapan saya, sesekali mengutak-atik laptopnya. Load pekerjaan kami sedang tidak banyak, karena ini hari Sabtu. Entah bagaimana mulainya, tiba-tiba kita ngobrol banyak hal ngalor ngidul. Awalnya cuma masalah laptop saya yang masih mangkrak di tempat reparasi, file-file (dengan tanda kutip) yang berusaha saya selamatkan, dan sisi historikal dari laptop itu sendiri.
Bagi saya, file yang sedang berusaha saya selamatkan dari laptop itu bukan hal kecil. Meskipun banyak sekali teman yang bilang : "Oh come on, just let it go! It's just a piece of cake! And it's been so long time ago. Why'd you keep bothering yourself?" Hati saya mencelos ketika semua bilang begitu. Apakah yang saya rasakan tidak wajar? Apakah kalau saya bersikeras menyelamatkan file-file lama itu tidak wajar?
Lalu pembicaraan merembet ke resistensi seorang manusia untuk menghadapi masa lalunya : apakah dia akan lari atau mengangkat dagu menghadapinya. Dalam kasus saya, menerima kenyataan kalau file itu akhirnya harus hilang, adalah salah satu bentuk 'menghadapi'. Sementara dengan berusaha menyelamatkannya meskipun nyaris mustahil, justru saya malah 'lari' dari kenyataan bahwa yang saya selamatkan itu hanyalah sekedar 'file'. Tidak lebih dari itu.
*Here we go. Being cryptic again, I really am*
Sebenarnya tidak ada konklusi yang didapat dari pembicaraan kami berdua. Termasuk ketika akhirnya kami mulai berbicara soal saya, yang menurut si teman, always push myself too hard. Contoh kecilnya, kemarin ketika in house training, pada sesi evaluasi mandiri bersiaran, saya bilang, pengetahuan saya dalam banyak hal masih kurang. Dan sang mentor memekik : "What?! Are you sure? Still feeling lack of knowledge? I know that you know lotsa thing anybody else don't know!" Mendengarnya saya berjengit. I am not. Saya tahu diri saya sendiri. Saya hanya tertarik pada hal-hal yang saya suka dan akan rela me-research-nya sehingga, yaaa keliatan berpengetahuan luas. Tapi hanya dalam hal itu. Lainnya tidak. Lalu kata si mentor : "Darl, you don't have to know everything. What you've got is enough!"
Atau ketika saya mencari pekerjaan. Betapa saya selalu menyalahkan diri saya sendiri karena saya tidak kunjung dapat pekerjaan baru. Saya tidak cukup berusaha, kemampuan saya kurang, pengalaman saya cekak, etos kerja saya kurang tinggi. Padahal menurut si teman, perjalanan yang saya lakukan sudah cukup membuatnya geleng kepala. Dan menurutnya mungkin saya tidak bisa melihat dengan seksama apa yang sudah saya miliki dan mengambil peluang dari itu, instead of maksain nyari kerjaan baru. Katanya : "Apa iya kerjaan lain yang kamu kejar-kejar itu itu nantinya bakal kamu jalanin pake hati?"
Baik soal siaran atau soal nyari kerjaan, despite apapun yang dikatakan si mentor atau si teman, saya punya alasan dalam melakukannya. Tapi memang saya jadi mikir : mungkin saya terlalu banyak melihat keatas hingga saya kelelahan sendiri. Saya tidak berdamai dengan kenyataan. Pun ketika saya sudah melakukan banyak kontemplasi di malam-malam insomnia itu. Nyatanya saya terlalu keras kepala untuk melaksanakan apa yang sudah saya sepakati sendiri di dalam hati, for my own sake. My bad.
*tiba-tiba ujan turun deresnya alaihim*
So it is. Demikian percakapan saya dan Mas Nunow, teman saya itu. Sekali lagi tidak ada konklusinya. Hanya jadi mikir lagi, ternyata memang buat saya, segala yang saya rasakan; soal laptop, soal insomnia, soal mencari pekerjaan baru; bukan semata-mata soal sandaran hati tapi juga relegasi diri. Mungkin agak menggelikan dan kurang masuk akal. Tidak apa-apa, karena pada akhirnya yang bisa menolong saya, ya diri saya sendiri.
And definitely the Boss of the Universe almighty.
.
0 comments:
Post a Comment