Monday, July 5, 2010

kickin with SMITH

Ketika aku datang ke bioskop 2 minggu kemaren (yep, judulnya telat nulis) buat nonton THE KARATE KID, aku tidak punya harapan yang berlebihan. Cuma buat killing time nunggu siaran. And what I've got is beyond expectation : Jayden Smith sungguh bisa berakting.

Bukan akting yang asal, tapi cukup natural. Sebagai seorang anak Amerika-pada-umumnya yang mengalami krisis identitas dan merasa insecure saat dia dan ibunya harus pindah ke Beijing. Apalagi saat harus bersinggungan dengan Cheng (si bocah oriental ganteng! :p) dan kroni-kroninya gara-gara cewek. Juga penggambaran hubungan surrogate father-son dengan petugas maintenance flatnya, Mr. Han, yang akhirnya menjadi pelatih beladirinya. Jayden juga sungguh bisa melakonkan adegan martial art itu dengan luwes. Ngga malu-maluin papa Will dan mama Jada deh. Dan six-packs samar-samar itu.. Oh wow, way to go, kiddo.

Tapi ketika Karate Kid versi 2010 ini mentahbiskan dirinya sebagai remake dari versi 1984, tiba-tiba aku merasa ngga sreg. Karena menurutku, versi 2010 tidak berhasil menjadi remake yang baik. Well, yea, versi remake memang tidak harus menjadi sama persis dengan versi aslinya. Tidak apa-apa jika sang pemeran utama pindah ke Beijing dan berguru pada pada si warga lokal, bukannya sang pemeran utama tinggal di US dan berguru pada seorang imigran. Tapi memberi judul karate untuk sebuah film martial art kung fu rasanya seperti... unscratched itch.

Pihak filmmaker bukannya tidak menyadari inkonsistensi ini. Sadar banget malah. Sampe-sampe dimasukin ke dialog dalam film dimana Dre, karakter Jayden, emphasizing bahwa yang dia pelajari itu kungfu bukan karate. Saking sensitifnya issue ini; di Cina, asal beladiri kungfu, film ini diubah judulnya jadi Kungfu Kid; sementara di Jepang, asal beladiri karate, judulnya jadi Best Kid. Sebuah kerepotan yang janggal dan ngga perlu sebenarnya. Meskipun, yea, alasan sang filmmaker cukup klasik : membuat remake dengan warna baru, dare to be different and whatnot. Tapi buat aku, hal ini begitu fundamental dan ngganjel banget. I wish this thing didn't happened. Mending bikin Kung Fu Kid sekalian (bolehlah ditambahin inspired by Karate Kid), atau sekalian terjemahkan Karate apa adanya.

But regardless that thing, this movie is a good one. Sangat menghibur, seru dan lucu. Film yang pas buat keluarga, dengan timing yang pas buat anak-anak yang lagi libur sekolah. Pesannya juga bagus buat adek-adek : from zero to hero, good boy won over bad boy, begitulah. Pacenya cukupan, ngga terlalu cepat, ngga terlalu lambat juga. Buktinya anak-anak yang nonton pada betah dan ketawa-ketawa melulu. Cuma, ati-ati ya biar adek-adeknya ngga jadi suka berantem-beranteman. Buat plotnya, dia setia sama film versi lama, dengan sedikit penyesuaian pastinya. Salah satunya adalah sebuah kissing scene yang... errr a bit weird. Not just because they're precocious, the scene's just.. didn't fit in.

Oh and about Jackie Chan as Mr. Han, Dre's mentor... Hmm, beliaunya tidak tampil terlalu menonjol karena memang bukan dia pemeran utamanya. Dia jago kung fu, kita semua tahu. Jurusnya yang selalu memanfaatkan benda-benda non-senjata, kita juga tahu. He perform good, as always. Yang baru adalah... Aktingnya yang begitu mencengangkan dan bikin dada sesek di satu scene : Ketika dia mabuk, menangis tersedu-sedu dan menghancurkan mobilnya tepat di malam kecelakaan yang mengambil keluarganya bertahun-tahun yang lalu. Kenyataan bahwa dia membetulkan mobil itu sepanjang tahun, menghancurkannya tepat di tanggal itu, lalu dibetulkan lagi, berulang-ulang, setiap tahun; karena rasa bersalahnya, karena benci pada dirinya sendiri, karena rasa rindu pada keluarganya... Uwaaah, nyesek banget rasanya. I've never seen Jackie Chan brought his acting that deep before. Kebanyakan becanda kali ya dianya, hehe.

So, doubt no more. Jayden Smith berhasil membuktikan : acting runs in his genes. Seperti dalam rap routinenya di Never Say Never : "I can handle him, hold up, 'aight? I can handle him."

0 comments:

Post a Comment