Friday, September 24, 2010

the ILLUMINATOR

Once upon a time, there's one simple and warmhearted night. Nothing urgent to do, hujan rintik-rintik, makan nasi goreng ikan asin, main Hangman, dan ditutup dengan nonton SANG PENCERAH. Buat yang terakhir ternyata cukup beyond expectation. Sang Pencerah tidak jelek sama sekali, matter of fact, diatas rata-rata tipikal film-latah Indonesia yang menjamur belakangan ini. Kalau satu bikin horor, yang lain ikutan. Satu bikin film remaja, yang lain mau juga. Satu bikin film religi, yang lain ngga mau ketinggalan.

Sang Pencerah beda. Kapan sih terakhir kita nonton film biopik? Cut Nyak Dien? Atau apa? Kalaupun ada setelah era Cut Nyak Dien, I barely remember saking jarangnya. Then, et voila, Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo tampil jumawa. Mengangkat kisah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Sang Pencerah dalam kacamataku nampak effortless, tidak preaching, pacenya padat dan dialognya tidak picisan. Masing-masing karakternya juga begitu stand-out, terutama Lukman Sardi yang memerankan Ahmad Dahlan. Lagi laris si Mas yang satu ini. Emang aktingnya bagus sih, tapi khawatir aja kalo ntar beliaunya jadi muncuuuul terus dimana-mana. Biasa kan gitu, penyakitnya produser kita. Menurutku yang begituan ngga bagus juga buat personifikasi si aktor yang bersangkutan kedepannya.

Ah, yang gitu biarlah begitu. Yang pasti aku sangat menikmati film ini. Dengan bersetting di Jogja, para pemeran pendukungnya juga fasih bener bahasa Jawanya. Luwes pula. Sinematografi dan editingnya juga tegas, ngga buang-buang durasi. Sayang alur yang menanjak naik agak kendur di paruh akhir cerita. Well, mungkin karena biopik, jadi jalannya realita tidak melulu seperti drama 3 babak kali ya.

Kalo masalah fakta-faktanya, konon sih menurut yang tahu, sudah cukup presisi, meskipun detil-detil kecilnya mungkin tetap didramatisasi. Oh ya, aku juga kadang mikir, kalo ada film yang pemerannya ngga takut didandanin jelek, bajunya ngga melulu licin kaya baru keluar dari mall... Biasanya itu film bagus. Hihi analogi ngawur ya. But so far it works on me. Liat Pasir Berbisik. Atau Arisan. Hehe.

Verdict : menurutku ini film Hanung Bramantyo yang paling bagus (dari film-filmnya dia yang udah aku tonton at least). Tapi sorry to say pak Hanung, menurut saya Nyonyah Hanung ngga begitu cocok disini. Dia terlalu muda, aktingnya tidak begitu stand out, sehingga aku ngga bisa ngeliat angst dan pertentangan batin istri KH Ahmad Dahlan yang menemani perjuangan dan jatuh bangunnya sang suami. Mbak Zaskia sendiri selama ini aktingnya bagus kok, tapi bukan berarti dia harus main di film suami kan? I guess not everyone can be Tim Burton's Helena Bonham Carter...

0 comments:

Post a Comment