catatan : hari ini saya akan mencoba menulis TANPA sisipan bahasa Inggris. Saya juga akan mencoba untuk menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hmmm. Saya coba.
Selamat ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64!
Ohhh, nuansanya... Membuat saya terharu biru tanpa alasan pasti! Mungkin karena saya teringat ketika saya masih menumpahkan keringat dan air mata saat saya tergabung di Paskibar (ejaannya memang Pas-Ki-Bar.. SMA saya memang gemar tampil beda). Mungkin karena saya mendengar lagu-lagu perjuangan yang saya putar saat siaran pagi ini. Atau mungkin karena saya melihat suasana upacara di Istana Merdeka yang begitu khidmat. Bahkan sekedar melihat bapak-bapak yang mengecat gapura di kampung masing-masing pun sudah membuat hati saya tergetar luar biasa. Semoga ini adalah tanda kalau saya masih cinta negara saya.
Saya ingat, dulu ada momen-momen tertentu yang membawa rasa hangat yang entah apa di dada saya. Saya lebih suka mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang "Sangat Indonesia". Dan saya merasa... bahagia. Agak terasa berlebihan memang, tapi begitulah yang saya rasakan.
Salah satunya adalah ketika saya terjebak kemacetan di daerah Johar, saat kampanye Pilpres yang lalu. Saya melihat banyak sekali keluarga sederhana, terdiri dari bapak-ibu-anak, berdesakan naik satu motor, mengenakan atribut partai dan membawa bendera merah putih. Cuaca saat itu panas sekali. Tapi mereka begitu bersemangat, riang berceloteh dalam bahasa Jawa. Entah karena ada iming-iming imbalan, saya tidak tahu pasti. Senyum mereka bahagia, merayakan kebersamaan mereka. Anak-anak menyerukan yel-yel partai yang mereka tidak tahu artinya. Bapak-bapak penarik becak tertawa bersama rekan sejawatnya. Ibu-ibu dengan gincu dan bedak tersapu keringat berbinar berdesakan diatas mobil bak. Tapi mereka bahagia, mereka merayakan kebersamaan mereka. Apapun yang terjadi dengan kondisi dapur di rumah, tinggalkanlah. Mereka berbahagia.
Melihat mereka, otot wajah saya ikut tertarik dan membentuk seulas senyuman. Saya percaya, saudara-saudara kita dari kelas menengah kebawah punya segala kejujuran. Jika tertawa, berarti mereka memang punya secercah kebahagiaan. Jika lelah, mereka tak akan selihai para artis dan pejabat dengan pura-pura tersenyum. Oleh karena itulah, melihat mereka berpesta, saya ikut bahagia. Inilah negara saya. Dengan orang-orang dari kalangan sederhana yang selalu bisa menjadikan hal-hal sederhana jadi sebuah perayaan yang gembira ria.
Pagi ini, mau tak mau saya juga teringat film yang saya saksikan di bioskop 2 hari yang lalu. Judulnya
MERAH PUTIH. Para pembuatnya menyebut film ini sebagai "Trilogi Merdeka". Karena film ini memang terbagi jadi 3 bagian, dan yang saya saksikan tempo hari adalah seri pertamanya. Saya menonton bersama teman-teman kerja, karena radio kami memang menjadi salah satu rekanan media promosi film ini. Para artis pendukungnya sempat datang ke studio dan kami pun berkesempatan datang di acara jumpa artisnya.
Film ini berlatar belakang tahun 1947, saat Agresi Militer II pimpinan Van Mook mendera Indonesia. Fokus ceritanya adalah 4 orang pemuda yang tergabung menjadi Tentara Rakyat. Mereka berempat punya latar belakang, watak dan etnis yang berbeda. Ada Amir si mantan guru sederhana yang terkondisikan menjadi pemimpin; Marius sang priyayi Jawa yang sombong, arogan tapi berpendidikan; Dayan si bli Bali yang pendiam tapi berkepala dingin; dan Tomas, pemuda Sulawesi yang menyimpan dendam karena seluruh keluarganya dibunuh oleh tentara Belanda.
Saya memuji ide film ini. Mengemas film perjuangan menjadi film yang tampak kasual seperti layaknya film-film drama yang marak ada, tapi dengan pesan yang sama sekali tidak dangkal. Nilai plusnya, ada begitu banyak insan perfilman Hollywood yang bergabung menjadi tim efek spesial film perang ini, sehingga secara penampakan film ini menjanjikan sesuatu yang berbeda. Saya jadi penasaran menantikan seri kedua dan ketiganya.
Sayangnya, ada banyak hal yang mengganggu saat menonton film ini. Mungkin karena begitu ingin membuat film ini 'kasual', justru banyak hal-hal yang terlalu 'manis-yang-tidak-pada-tempatnya' masuk ke film ini. Misalnya penggambaran adegan pelatihan mereka yang tampak 'lembek'. Misalnya : disana digambarkan para calon tentaranya, di tahun 1947, di masa perang, mendapatkan seperangkat lemari, meja-kursi, dan ranjang di barak mereka. Mereka bahkan sempat berganti piyama, dan mengobrol menjelang tidur layaknya penghuni kos putri. Padahal barak itu, tepatnya barak Bantir Sumowono, adalah barak yang sama tempat pelantikan Paskibar angkatan saya. Dan disana, kami tidur hanya beralas jas hujan, dengan seragam latihan kotor dan sepatu basah masih menempel di badan kami!
Belum lagi adegan pesta dansanya (sempatkah mereka menggelarnya??), adegan percakapan di tengah-tengah desingan peluru di malam buta (sekali lagi, sempatkah mereka melakukannya??). Dan penggunaan bahasanya... Menurut saya sangat tidak luwes. Ya, memang di kala itu belum ada bahasa pergaulan yang tidak baku. Tapi masalahnya bukan soal baku atau tidak baku. Tetapi masalah diksi atau pilihan katanya... Beberapa aktor pendukungnya juga kurang maksimal dalam pembangunan karakternya.
Ah, banyak sekali faktor yang sumbang di dalamnya. Tapi sekali lagi, saya memuji itikad baik pembuatan film ini. Agak kecewa, tapi saya tetap menantikan seri selanjutnya.
Oh ya, karakter favorit saya adalah Dayan. Ya benar, saya memang sering jatuh cinta pada karakter pendamping, bukan pemeran utama. Karakter Dayan begitu kuat. Entah karena Teuku Rifnu Wikana yang berlatar belakang dunia teater, atau tokoh Dayan yang memang sangat berkarakter. Atau bisa jadi karena keduanya : Teuku Rifnu Wikana yang begitu lihai membangun karakter sang bli Dayan. Meskipun tidak setampan Zumi Zola atau Donny Alamsyah yang dielu-elukan seluruh remaja putri yang hadir, bagi saya Teuku Rifnu Wikana dan penokohan Dayan-nya lebih menempel di hati
. (foto : Facebook Teuku Rifnu Wikana)
Sekilas berita tidak penting, pada acara jumpa artis, saya sempat memfragmenkan adegan Dayan favorit saya, di depan semua yang datang, termasuk Teuku Rifnu Wikana. Gara-garanya, sang pembawa acara menyeret saya untuk mengikuti sebuah permainan. Ha, sebagai rekan seprofesi, mana mungkin saya menyusahkannya? (bagi seorang pembawa acara, hadirin yang kooperatif untuk diajak mengikuti permainan adalah sebuah anugerah!)
Lalu, setelah mengikuti aturan main yang ditetapkan, dengan jumawa saya melakukan adegan ketika Dayan menyelamatkan Amir dan istrinya dari peluru tentara Belanda. Dayan menjeblak pintu, menebaskan parangnya pada si tentara Belanda di waktu yang tepat, kemudian berkata santun kepada si Amir dan istrinya yang masih terkaget-kaget : "Merindukan saya?". Hahaha, sungguh menyegarkan!
Itu dia sekelumit momen 17 Agustus saya tahun ini. Bagaimana dengan Anda? Momen apa yang membawa Anda terharu-biru di tanggal 17 Agustus ini? Ataukah hari ini berlalu biasa saja bagi Anda? Apapun itu, tidak menjadi masalah. Tidak ikut upacara pun tidak apa-apa. Yang penting pastikan Anda tidak menjadi skeptis terhadap negara kita tercinta ini. :)