Wednesday, September 9, 2009

Sedikiiiiiiit aja soal RUU Perfilman

Setelah dibilang salah jurusan karena kuliah di Fakultas Hukum tapi malah kerja di radio dan punya radioshow soal film, hari ini ngga sengaja aku baca soal RUU Perfilman yang akhirnya disahkan.

Alisku naik. Finally! Ada sesuatu yang mempersatukan dua latar belakangku yang ngga nyambung itu. Atau sebenernya nyambung cuma akunya ngga ngeh? Well, sebenernya sih semua hal pastinya nyambung sama hukum. Negara kita kan negara hukum? Akunya aja yang SH-allow (baca : Sarjana Hukum tapi shallow) ... Humm, tidak bermaksud bangga sama itu sih. Makanya belajar! *berkata pada diri sendiri*

Baiklah kembali soal UU Perfilman.

Jadi ya, sebuah RUU garapan Komisi X DPR yang rencananya ngegantiin UU nomor 8 tahun 1998 tentang Perfilman, akhirnya kemaren (8/9) disahkan sama DPR. Reaksinya orang film, terutama para filmmaker yang bisa dibilang mastermind kebangkitan film Indonesia (bermutu) seperti Riri Riza, Mira Lesmana, Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer dan Nia Dinata, adalah menentang keras. Mereka nganggep UU itu justru bakalan nyusahin orang film, karena segala sesuatunya diatur dengan intensitas yang berlebihan. Mereka juga bilang kalau RUU itu disahkan dengan terburu-buru, tanpa minta pendapat orang-orang yang bener-bener ngerti (bikin) film. Secara, Riri dkk baru ngasi masukan tanggal 1/9, eh tanggal 8/9 RUU-nya udah disahkan... Hasilnya ngga sesuai harapan, pula. Alhasil pas RUU disahkan, Riri dkk menolak keras, bahkan datang ke Gedung DPR bawa rangkaian bunga bela sungkawa.

Lebih ekstrim, para tokoh senior perfilman seperti Slamet Raharjo dan Dedi Mizwar berkata, dengan UU Perfilman yang baru ini, para insan film diperlakukan seperti penjahat. Kesana kesini dikekang. Padahal, menurut mereka lagi, dulu pemerintah ngga pernah ngurusin soal film. Film Indonesia bangkit, ya bangkit sendiri. Sekarang giliran sudah menuju-ke-arah-settled-walau-belom-settled-bener, baru diatur-atur.

Hmm, begitu kata beliau-beliaunya.

Tapi kalo kata pak Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, UU ini udah diusahain buat mengakomodir semua aspek perfilman. Kalo ada yang ngga puas, ya itu wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Kata pak Jero Wacik lagi, ngga bener kalo dibilang UU Perfilman itu bakal mematikan kreativitas kaya' yang dikhawatirin masyarakat perfilman. Trus lagi, UU ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan masyarakat menyelenggarakan jenis usaha perbioskopan, biar ngga ada dominasi. Ini refers to chain-cinema yang itu tuhh..

Biar tambah meyakinkan, katanya pak Jero Wacik lagi, UU Perfilman itu udah dibahas sebanyak 12 kali sama tim panitia kerja, tim perumus, tim sinkronisasi, bahkan udah nglewatin rapat dengar pendapat barengan para pemangku kepentingan film dan tokoh perfilman. Ngga cukup gitu aja, sempet dibikinin uji publik di empat provinsi segala lho!

Tapi kok kenyataannya para dedengkot perfilman itu ngga dilibatin ya? Tau-tau begitu jadi UU, banyak pasal yang menurut para kreator film (bermutu), malah jadi nyusahin. Yah, bukannya ngga percaya sama para anggota dewan kita yang terhormat dan seluruh sistematikanya, tapi emang bener kan? Siapa sih yang bikin film Indonesia bermutu, yang mengharumkan nama bangsa sampe ke luar negeri kalo bukan mereka-mereka itu?

Nih ya beberapa pasalnya yang dibilang 'bermasalah' :

Pasal 6 misalnya, mengatur secara rinci sejumlah larangan isi yang boleh ditampilkan dalam film. Film dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, menonjolkan pornografi, memprovokasi pertentangan kelompok, antarsuku, dan atau antargolongan, menistakan agama, dan merendahkan harkat martabat manusia.

Wew, berarti film Berbagi Suami yang fenomenal itu udah ngelanggar pasal 6 dan ngga boleh tayang dong. Dan film itu ngga bakal dapet Golden Orchid Award sebagai Best Foreign Language Film dalam Festival Film Hawaii dong. Pathetic dong.

Trus pasal 13 mengatur pengedaran film impor tak boleh melebihi 50 persen. Pada pasal 32, diatur pula pertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh jam pertunjukan film, kecuali dalam hal sediaan film Indonesia tidak cukup.

Waduh. Apakah kuantitas itu lebih penting dari kualitas? Apakah kita harus maksain bikin buanyak film kalo idenya kebanyakan masih seputar klenik dan teen-flick ngga jelas? Di Semarang aja deh, bioskop cuma 2. Each studionya cuma 3/4. Kalo dari 4 studio, 2 diantara-nya diisi film lokal tapi setan-setanan semua atau komedi porno semua, males kan? Trus film-film macem District 9 sama Inglorius Basterd jadi telat masuk? Argh. Padahal menonton film luar juga jadi proses pembelajaran buat kita kan?

Oh ya, kedua aturan tadi juga dilengkapi sama sanksi pidana pasal 75 yang menyatakan : Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000. Ngga usah bingung ngitung nolnya. Itu dibacanya 'seratus miliar rupiah'. Njrit.

Yang lebih heboh lagi ini. Pasal 18 mengatur pembuatan film harus mengajukan pemberitahuan kepada menteri disertai judul, isi cerita dan rencana pembuatan film. Wah. Pasti pak menteri akan sibuk sekali dan badan sensor jadi setengah nganggur nih.

Kemudian Pasal 23 mengatur, pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri. Pasal 42 mengatur pula, pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang berpengaruh negatif terhadap nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Oke, kalo ini masuk akal, tapi pasalnya pasal karet, dan agak ambigu...

Terakhir, pasal yang paling ditolak sejumlah penggiat film, adalah Pasal 49. Pasal ini berisi ketentuan insan perfilman berkewajiban memenuhi standar kompetensi dan memiliki sertifikat profesi dalam bidang perfilman. Lebih jauh detilnya di pasal 68 yang menyatakan : kompetensi dilakukan melalui sertifikasi kompetensi. Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi.

What tje fuk?! Bukankah para pegiat film kebanyakan mendapatkan ilmunya dari 'sekolah alam'? Dari kecintaan mereka terhadap film? Dari pengalaman dan segala pembelajaran informal? Dan belum banyak pilihan di negeri ini untuk kita 'bersekolah' film...

See? Ngga heran Mira Lesmana sampe nangis-nangis di Metro TV gara-gara UU ini. Ini bukan semata-mata masalah gampang enggaknya buka bioskop. Pasal karetnya banyak. Ntar begini dibilang ngelanggar itu, begitu dibilang ngelanggar pasal ini. It's an art, my dear government... Based in my humble opinion, mereka yang tidak setuju itu bukannya ngga mau diatur. Hanya saja pengaturannya overreacted. Ini seperti hukum pasir dalam genggaman. Semakin erat digenggamnya, pasir yang lolos malah semakin banyak...

Konon Riri Riza dkk bakal mengusahakan judicial review. Kita lihat sajalah hasilnya bagaimana. Moga-moga dapet win win solution. Karena dari kacamata penikmat film, kita kan cuma pengen nonton film-film bagus. Apalagi yang bikinan negeri sendiri...

2 comments:

Me said...

jadi jangan salahkan kalo kita lebih rajin dateng ke lapak DVD bajakan kalo film impor dibatesi. Wong yang nggak dibatesin aja mpe sekarang bikin saya rajin mengunjungi lapak2 di Matahari?!?

diLa said...

dan saya lebih nista lagi ya berarti.. udah cuma modal minjem, minjemnya DVD bajakan si Musang lagi! :D

nantinya DVD bajakan juga bakal terancam eksistensinya. tapi ngga tau juga sih. bisa jadi keadaannya sama aja kaya' sekarang : konon, kalo 'setorannya' cocok.. ya jalan terusss..

aduh aduh, bagaimana ini?

Post a Comment